Minggu, 04 Februari 2018

Khotbah ke Dua: An-attalakkhaṇa Sutta


Khotbah ke Dua: An-attalakkhaa Sutta
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu: “Para bhikkhu!”
“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri. Karena jika, para bhikkhu, bentuk adalah diri maka bentuk tidak akan menyebabkan penderitaan dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘Biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini.’ Akan tetapi, karena bentuk adalah bukan-diri maka bentuk menyebabkan penderitaan dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘Biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini.’
“Perasaan adalah bukan-diri … Persepsi adalah bukan-diri … Bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, kesadaran adalah diri maka kesadaran tidak akan menyebabkan penderitaan dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘Biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.’ Akan tetapi, karena kesadaran adalah bukan-diri maka kesadaran menyebabkan penderitaan dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘Biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.
“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”–“Tidak kekal, Yang Mulia.”–“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”–“Penderitaan, Yang Mulia.”–“Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”–“Tidak, Yang Mulia.”
“Apakah perasaan adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah persepsi adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah bentukan-bentukan kehendak adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”–“Tidak kekal, Yang Mulia.”–“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”–“Penderitaan, Yang Mulia.”–“Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”–“Tidak, Yang Mulia.”
“Oleh karena itu, para bhikkhu, bentuk apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga … Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga … Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan maka [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan’. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

Demikianlah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Ketika khotbah ini sedang dibabarkan, batin para bhikkhu dari Kelompok Lima itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidakmelekatan. [SN 22.59 (7) Karakteristik Bukan-diri].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.