Senin, 05 Februari 2018

Kaccānagotta

Di Sāvatthī. Yang Mulia Kaccānagotta mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘pandangan benar, pandangan benar.’ Dalam cara bagaimanakah, Yang Mulia, pandangan benar itu?”
“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar bergantung pada dualitas–pada gagasan ke-ada-an dan gagasan ke-tiada-an. Akan tetapi, bagi seorang yang melihat asal-mula dunia ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, tidak ada gagasan ke-tiada-an sehubungan dengan dunia ini. Dan bagi seorang yang melihat lenyapnya dunia sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, tidak ada gagasan ke-ada-an sehubungan dengan dunia.
“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar terbelenggu oleh pekerjaan, kemelekatan, dan ketaatan. Akan tetapi, orang ini [dengan pandangan benar] tidak menjadi terlibat dan melekat pada pekerjaan dan kemelekatan, sudut pandangan, ketaatan, kecenderungan tersembunyi; ia tidak menganut pandangan ‘diriku’. Ia tidak bingung atau ragu bahwa apa yang muncul hanyalah munculnya penderitaan, apa yang lenyap hanyalah lenyapnya penderitaan. Pengetahuannya tentang ini tidak bergantung pada yang lain. Dalam cara inilah, Kaccāna, pandangan benar itu.

“’Semua ada’: Kaccāna, ini adalah satu ekstrim. ‘Semua tidak ada’: ini adalah ekstrim ke dua. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: ‘Dengan delusi sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, batin-dan-jasmani; dengan batin-dan-jasmani sebagai kondisi, enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, kontak; dengan kontak sebagai kondisi, perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan-dankematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan muncul. Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan. Akan tetapi, dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya delusi maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, lenyap pula batin-dan-jasmani; dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, lenyap pula penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan.” [SN 12.15 (5) Kaccānagotta].

Minggu, 04 Februari 2018

Saccavibhanga Sutta: Penjelasan tentang Kebenaran-kebenaran

Saccavibhanga Sutta: Penjelasan tentang Kebenaran-kebenaran
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Benares di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”–“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Di Benares, Para bhikkhu, di Taman Rusa di Isipatana Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia–yaitu mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia. Apakah empat ini?
”Mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan kebenaran mulia penderitaan. Mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan kebenaran mulia asal-mula penderitaan … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.
“Di Benares, Para bhikkhu, di Taman Rusa di Isipatana Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia–yaitu mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia ini.
“Kembangkanlah persahabatan dengan Sāriputta dan Moggallāna, Para bhikkhu; bergaullah dengan Sāriputta dan Moggallāna. Mereka bijaksana dan sangat membantu bagi teman-teman mereka dalam kehidupan suci. Sāriputta bagaikan seorang ibu; Moggallāna bagaikan seorang perawat. Sāriputta melatih orang-orang lain mencapai buah memasuki-arus, Moggallāna melatih untuk mencapai tujuan tertinggi. Sāriputta, Para bhikkhu, mampu mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia.”
Demikianlah Sang Bhagavā berkata. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya.
Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Teman-teman, Para bhikkhu.”–“Teman,” para bhikkhu menjawab Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:
“Di Benares, Teman-teman, di Taman Rusa di Isipatana Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya … dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia. Apakah empat ini?
”Mengumumkan … dan memperlihatkan kebenaran mulia penderitaan ... kebenaran mulia asal-mula penderitaan … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.
“Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan.
“Dan apakah, Teman-teman, kelahiran itu? Kelahiran makhluk-makhluk ke dalam berbagai urutan kehidupan, akan terlahir, berdiam [dalam rahim], pembentukan, perwujudan kelompok-kelompok unsur kehidupan, memperoleh landasanlandasan kontak–ini disebut kelahiran.
“Dan apakah, Teman-teman, penuaan itu? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan kehidupan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kemunduran kehidupan, melemahnya indria-indria–ini disebut penuaan.
“Dan apakah, Teman-teman, kematian itu? Berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan kehidupan, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya tubuh–ini disebut kematian.
“Dan apakah, Teman-teman, dukacita itu? Dukacita, bersedih, kesedihan, dukacita batin, kesedihan batin, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkan–ini disebut dukacita.
“Dan apakah, Teman-teman, ratapan itu? Mengeluh dan meratap, mengeluhkan dan meratapi, keluhan dan ratapan, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkan–ini disebut ratapan.
“Dan apakah, Teman-teman, kesakitan itu? Kesakitan jasmani, ketidak-nyamanan jasmani, sakit, perasaan tidak menyenangkan yang muncul dari kontak jasmani–ini disebut kesakitan.
“Dan apakah, Teman-teman, kesedihan itu? Kesedihan batin, ketidak-nyamanan batin, perasaan tidak menyenangkan yang muncul dari kontak pikiran–ini disebut kesedihan.
“Dan apakah, Teman-teman, keputus-asaan itu? Kesulitan dan keputus-asaan, kesulitan besar dan kehilangan harapan, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkan–ini disebut keputus-asaan.
“Dan apakah, Teman-teman, ‘tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan’? Bagi makhluk-makhluk yang tunduk pada kelahiran muncul keinginan: ‘Oh, semoga kami tidak tunduk pada kelahiran! Semoga kelahiran tidak terjadi pada kami!’ Tetapi hal ini tidak diperoleh dengan cara menginginkan, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan. Bagi makhluk-makhluk yang tunduk pada penuaan … tunduk pada penyakit … tunduk pada kematian … tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan, muncul keinginan: ‘Oh, semoga kami tidak tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan! Semoga dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tidak terjadi pada kami!’ Tetapi hal ini tidak diperoleh dengan cara menginginkan, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan.
“Dan apakah, Teman-teman, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, secara singkat, adalah penderitaan? Yaitu kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ini adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, secara singkat, adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.
“Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Adalah ketagihan, yang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan kesenangan dalam ini dan itu; yaitu, ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, ketagihan pada tanpapenjelmaan. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.
“Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, berhentinya, lepasnya, membiarkan, dan menolak ketagihan yang sama ini. Ini disebut kebenaran mulia lenyapnya penderitaan.
“Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.
“Dan apakah, Teman-teman, pandangan benar itu? Pengetahuan tentang penderitaan, pengetahuan tentang asalmula penderitaan, pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan, pengetahuan tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan–ini disebut pandangan benar.
“Dan apakah, Teman-teman, kehendak benar itu? Kehendak meninggalkan keduniawian, kehendak tanpa permusuhan, dan kehendak tanpa kekejaman–ini disebut kehendak benar.
“Dan apakah, Teman-teman, ucapan benar itu? Menghindari kebohongan, menghindari ucapan fitnah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari obrolan tanpa tujuan–ini disebut ucapan benar.
“Dan apakah, Teman-teman, perbuatan benar itu? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria–ini disebut perbuatan benar.
“Dan apakah, Teman-teman, penghidupan benar itu? Di sini seorang siswa mulia, setelah meninggalkan penghidupan salah, mencari penghidupannya melalui penghidupan benar–ini disebut penghidupan benar.
“Dan apakah, Teman-teman, usaha benar itu? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan kemauan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang belum muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan kemauan untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan kemauan untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan kemauan untuk mempertahankan kelangsungan, ketidaklenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi melalui pengembangan atas kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya.
“Dan apakah, Teman-teman, perhatian benar? Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objekobjek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ini disebut perhatian benar.
“Dan apakah, Teman-teman, konsentrasi benar itu? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya sukacita, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini disebut konsentrasi benar. “Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.
“Di Benares, Teman-teman, di Taman Rusa di Isipatana Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia–yaitu mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia ini.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta. [MN 141 Saccavibhanga Sutta: Penjelasan tentang Kebenaran-kebenaran].


Khotbah ke Tiga: Āditta Sutta

Khotbah ke Tiga: Āditta Sutta
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Gayā, di tempat tinggal pemimpin Gayā bersama dengan seribu bhikkhu. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:
“Para bhikkhu, segalanya terbakar. Dan apakah, para bhikkhu, segalanya yang terbakar itu? Mata terbakar, bentuk-bentuk terbakar, kesadaran-mata terbakar, kontak-mata terbakar, dan perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi–apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan–itu juga terbakar. Terbakar oleh apakah? Terbakar oleh api nafsu, oleh api kebencian, oleh api kebodohan; terbakar oleh kelahiran, penuaan, dan kematian; oleh kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan, Aku katakan.
“Telinga terbakar … Pikiran terbakar … dan perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi–apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan–itu juga terbakar. Terbakar oleh apakah? Terbakar oleh api nafsu, oleh api kebencian, oleh api kebodohan; terbakar oleh kelahiran, penuaan, dan kematian; oleh kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan, Aku katakan.
“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap mata, terhadap bentuk-bentuk, terhadap kesadaran-mata, terhadap kontak-mata, terhadap perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi–apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan; mengalami kejijikan terhadap telinga … terhadap pikiran … terhadap perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi … Mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan maka terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan’. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Senang, para bhikkhu itu gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Ketika khotbah ini disampaikan, batin seribu bhikkhu itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidakmelekatan. [SN 35.28 (6) Terbakar].

Khotbah ke Dua: An-attalakkhaṇa Sutta


Khotbah ke Dua: An-attalakkhaa Sutta
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu: “Para bhikkhu!”
“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri. Karena jika, para bhikkhu, bentuk adalah diri maka bentuk tidak akan menyebabkan penderitaan dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘Biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini.’ Akan tetapi, karena bentuk adalah bukan-diri maka bentuk menyebabkan penderitaan dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘Biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini.’
“Perasaan adalah bukan-diri … Persepsi adalah bukan-diri … Bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, kesadaran adalah diri maka kesadaran tidak akan menyebabkan penderitaan dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘Biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.’ Akan tetapi, karena kesadaran adalah bukan-diri maka kesadaran menyebabkan penderitaan dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘Biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.
“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”–“Tidak kekal, Yang Mulia.”–“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”–“Penderitaan, Yang Mulia.”–“Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”–“Tidak, Yang Mulia.”
“Apakah perasaan adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah persepsi adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah bentukan-bentukan kehendak adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”–“Tidak kekal, Yang Mulia.”–“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”–“Penderitaan, Yang Mulia.”–“Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”–“Tidak, Yang Mulia.”
“Oleh karena itu, para bhikkhu, bentuk apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga … Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga … Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan maka [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan’. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

Demikianlah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Ketika khotbah ini sedang dibabarkan, batin para bhikkhu dari Kelompok Lima itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidakmelekatan. [SN 22.59 (7) Karakteristik Bukan-diri].

Khotbah Pertama: Dhammacakkappavattana Sutta

Khotbah Pertama: Dhammacakkappavattana Sutta

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu sebagai berikut:
“Para bhikkhu, kedua ekstrim ini tidak boleh diikuti oleh seorang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah dua ini? Mengejar kebahagiaan indria dalam kenikmatan indria, yang rendah, kasar, cara-cara kaum duniawi, tidak mulia, tidak bermanfaat; dan praktik penyiksaan diri, yang menyakitkan, tidak mulia, tidak bermanfaat. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata telah membangkitkan jalan tengah, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.
“Dan apakah, para bhikkhu, jalan tengah yang dibangkitkan oleh Sang Tathāgata, yang memunculkan penglihatan … yang menuntun menuju Nibbāna? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini, para bhikkhu, adalah jalan tengah yang dibangkitkan oleh Sang Tathāgata, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia penderitaan: kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; berkumpul dengan apa yang tidak menyenangkan adalah penderitaan; berpisah dengan apa yang menyenangkan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan: adalah ketagihan yang menuntun menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari kenikmatan di sana sini; yaitu ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, ketagihan pada pemusnahan.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan: adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, meninggalkan dan melepaskannya, kebebasan darinya, tidak bergantung padanya.
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan: adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu pandangan benar … konsentrasi benar.
“‘Ini adalah kebenaran mulia penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia penderitaan harus dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia penderitaan telah dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia asal-mula penderitaan harus ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia asal-mula penderitaan telah ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan harus dicapai’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan telah dicapai’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Ini adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dikembangkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“‘Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan telah dikembangkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah pada-Ku penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.
“Selama, para bhikkhu, pengetahuan-Ku dan penglihatan terhadap Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini belum sempurna dimurnikan dengan cara ini, Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan para deva, māra, dan brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Akan tetapi, ketika pengetahuan-Ku dan penglihatan terhadap Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini telah sempurna dimurnikan dengan cara ini maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan para deva, māra, dan brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul pada-Ku: ‘Kebebasan batin-Ku tidak tergoyahkan. Ini adalah kelahiran-Ku yang terakhir. Tidak akan ada lagi penjelmaan baru.’”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Bersukacita, Kelompok Lima Bhikkhu itu gembira mendengar penjelasan Sang Bhagavā. Selagi khotbah ini sedang dibabarkan, muncullah pada Yang Mulia Koṇḍañña penglihatan Dhamma tanpa noda, bebas dari debu: “Apa pun yang tunduk pada asal-mula semuanya tunduk pada lenyapnya.” Ketika Roda Dhamma ini telah diputar oleh Sang Bhagavā, para deva yang bertempat tinggal di bumi berseru:
“Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma tanpa banding telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau deva atau māra atau brahmā atau siapa pun di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva yang bertempat tinggal di bumi, para deva di alam Empat Raja Deva berseru: “Di Bārāṇasī … Roda Dhamma tanpa banding telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan … oleh siapa pun di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva di alam Empat Raja Deva, para deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva Nimmānaratī … para deva Paranimmitavasavattī … para deva pengikut Brahmā berseru: "Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma tanpa banding telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau deva atau māra atau brahmā atau siapa pun di dunia.”

Demikianlah pada saat itu, seketika itu, pada detik itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam brahmā, dan sepuluh ribu sistem dunia ini berguncang, bergoyang, dan bergetar, dan cahaya agung yang tanpa batas muncul di dunia melampaui keagungan para deva di surga. Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan ucapan inspitarif ini: “Koṇḍañña sungguh telah mengerti! Koṇḍañña sungguh telah mengerti!” Demikianlah Yang Mulia Koṇḍañña memperoleh nama “Aññā Koṇḍañña–Koṇḍañña Yang Telah Mengerti”. [SN 56.11 (1) Memutar Roda Dhamma].

Senin, 29 Januari 2018

Pelaksanaan Pemakaman Tionghoa secara Buddhis Theravada


Pelaksanaan Pemakaman Tionghoa secara Buddhis Theravada
Oleh: Venerable Suvanno

Hari dan malam berlalu
Hidup berlalu dengan cepat
Kehidupan makhluk hidup lenyap
Bagaikan air yang mengalir dalam sungai kecil.
                                             - Sang Buddha, Samyutta Nikaya


Pertama, beberapa kata tentang apa yang bisa dilakukan sebelum kematian. Jika seseorang sakit parah dan telah menjelang ajal, adalah baik sekali bila kita mengundang satu atau beberapa bhikkhu untuk memberikan khotbah Dhamma, membaca paritta Buddhis, dan mengucapkan Tisarana dan Panca Sila. Umat Buddha yang mempunyai keyakinan akan merasakan kebahagiaan dan kenyamanan ketika melihat bhikkhu.

            Umat  Buddha harus mencoba mempertahankan pikiran tenang dan sadar selama mendekati kematian. Dia harus merenungkan perbuatan baik yang telah dilakukannya dan menimbulkan keyakinan bahwa perbuatan baik ini dapat memberikan kelahiran kembali yang baik dan membantunya dalam kehidupan berikut. Dia harus menerima kematian sebagai sesuatu hal yang wajar dan tidak dapat dihindarkan, merenungkan bahwa kita semua datang sesuai perbuatan (kamma) kita dan pergi sesuai dengan perbuatan (kamma) kita. Dengan kerelaan melepas semuanya dan menerima kematian, dia akan meninggal dengan tenang dan memperoleh harapan kelahiran kembali yang baik di alam surga atau jika dia dilahirkan kembali ke dunia, dia akan lahir pada orang tua yang baik dan menjadi manusia yang cerdas.

            Mengingat kebenaran bahwa kita adalah pemilik perbuatan (kamma) kita sendiri, penting sekali agar ketika kita masih hidup, kita melakukan perbuatan baik dan bermanfaat sehingga kita akan memiliki jaminan kelahiran kembali yang bahagia setelah meninggal. Tentu saja, tujuan akhir semua umat Buddha adalah mencapai Nibbana, yang merupakan akhir dari kelahiran kembali. Tetapi sebelum kita membuang kekotoran batin, yaitu ketamakan, kebencian, dan kebodohan, kita masih akan tetap berada dalam samsara, siklus kelahiran dan kematian.

            Bagaimanapun juga dapat dimengerti bahwa akan ada duka dan kesedihan pada saat kematian. Namun, akan lebih baik bagi anggota keluarga untuk mempertahankan diri dari tangisan dan ratapan sebelum seseorang meninggal. Karena tangisan dan emosi hanya akan membuat sedih orang yang akan meninggal sehingga membuatnya lebih sulit untuk berpisah. Kita harus membiarkan seseorang pergi dengan damai, dengan memahami bahwa ketika waktu seseorang telah tiba, maka dia harus pergi. Kemelekatan dan cinta yang terlalu berlebihan hanya akan menimbulkan lebih banyak penderitaan. Sesungguhnya, anggota keluarga bisa meyakinkan orang yang akan meninggal bahwa dia tidak perlu khawatir tentang mereka, dia harus menjaga pikirannya tetap tenang dan damai, dan tidak mengapa bagi dia untuk pergi jika saatnya telah tiba. Dengan cara ini, orang yang akan meninggal juga akan merasa ringan dan meninggal dengan damai.

===

           Ketika seseorang telah mati, tubuh jasmani seharusnya dibersihkan dan dikenakan pakaian yang sederhana saja. Permata dan perhiasan, asli ataupun imitasi, tidak seharusnya dipakaikan. Karena yang meninggal telah dilahirkan dan tidak dapat membawa apa pun bersamanya.

           Mengenai peti mati, tidak perlu yang mahal. Boleh dengan harga menengah, atau jika miskin, peti mati yang murah juga boleh. Seorang umat Buddha yang mengerti Dhamma tidak akan mau anggota keluarganya menanggung biaya yang tidak perlu. Malah dia akan lebih memilih untuk berdana dengan uang yang dihemat dari pemakaman sederhana.

           Foto almarhum boleh diletakkan di depan peti mati. Bunga-bunga dan karangan bunga juga boleh diletakkan di sekeliling peti mati. Susunan kata-kata Dhamma, seperti kata-kata terakhir dari Sang Buddha: “Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal. Berusahalah dengan tekun untuk pembebasan dari penderitaan”, boleh dipasang sebagai suatu pengetahuan dan inspirasi, jadi kita dapat merenungkannya dan berusaha menjalani hidup dengan penuh manfaat.

            Ada banyak tradisi dan pantangan yang saat ini dijumpai dalam upacara pemakaman Chinese. Bagaimanapun, umat Buddha Chinese yang ingin mempertahankan kemurnian tata cara pemakaman dalam agama Buddha tradisi Theravada, harus menghilangkan praktek-praktek ini. Tanpa mengurangi rasa hormat atau pun dengan maksud menghina mereka yang ingin mengikuti upacara dan ritual pemakaman tradisi Chinese, nasihat berikut hanya untuk mereka yang ingin melaksanakan upacara pemakaman sesuai dengan agama Buddha tradisi Theravada:
Umat Buddha Theravada tidak perlu membakar kertas sembahyang,
tidak perlu meletakkan sebaskom air dan handuk di bawah peti mati (karena almarhum tidak mungkin menggunakannya);
tidak perlu meletakkan semangkuk nasi dengan sumpit di depan peti mati (karena almarhum tidak bisa makan lagi);
tidak perlu membakar dupa atau lilin di depan peti mati;
tidak perlu menggantung kelambu di atas peti mati;
tidak perlu memasang lampu-lampu dekorasi di sekeliling peti mati;
tidak perlu membagikan benang merah kepada mereka yang hadir;
pintu boleh ditutup pada malam hari bila pengunjung sudah pulang, sehingga anggota keluarga boleh istirahat;
setelah upacara pemakaman, tidak perlu mengadakan upacara pembersihan rumah untuk menghalau nasib buruk karena ini hanya berupa praktek takhyul;
tidak perlu membasuh muka dengan air “suci” karena Sang Buddha telah mengajari kita untuk selalu percaya pada diri sendiri, yaitu dalam praktek Dhamma, praktek dana (kemurahan hati), sila (kesusilaan), dan bhavana (meditasi). Sang Buddha mengajarkan bahwa tempat perlindungan kita yang sebenarnya terletak pada kamma (perbuatan) baik kita, yaitu dengan berbuat baik, menjaga sila, dan meditasi.

Oleh karena itu, jika kita telah mengikuti Ajaran Buddha sesuai dengan Jalan Mulia Beruas Delapan, kita telah memiliki perlindungan yang paling baik dan benar, dan kita tidak perlu lagi mengambil jalan takhyul dan praktek non-Buddhis.

            Kita yakin dengan kesederhanaan dan tingkah laku yang bijaksana, mengingat almarhum telah dilahirkan kembali, dan jika dia adalah seorang Buddhis Theravada yang memahami Ajaran Buddha, dia tentu juga akan menginginkan dibuangnya prosedur yang tidak bermanfaat
.

            Jadi, tidak perlu membakar rumah kertas, mobil kertas, uang “neraka”, ataupun perlengkapan kertas sembahyang lainnya serta pengadaan berbagai upacara dan ritual, karena semua ini menimbulkan sejumlah biaya yang sangat besar tetapi sama sekali tidak bermanfaat karena almarhum tidak memperoleh keuntungan dari semua ritual ini. Menurut agama Buddha tradisi Theravada, tidaklah mungkin apa yang dibakar di alam ini dapat terwujud di alam lain. Apa yang terbakar akan terbakar. Dan juga tidaklah mungkin bahwa kesadaran seseorang dapat dituntun dari neraka atau dari suatu tempat ke surga. Kelahiran kembali terjadi secara spontan setelah kematian, dan jenis kelahiran kembali akan tergantung pada kamma atau perbuatan yang telah dilakukan orang tersebut semasa hidupnya yang dulu. Jadi, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kita perlu menjalani kehidupan secara baik, karena ketika kita meninggal maka kita tidak dapat berharap untuk “diselamatkan” oleh upacara, ritual, dan lain-lainnya.

           Uang yang dihemat dari pelaksanaan upacara dan ritual yang tidak bermanfaat dapat digunakan untuk ber-dana, penyediaan keperluan bhikkhu dan vihara, dan sumbangan kepada lembaga amal untuk mengenang almarhum. Keluarga almarhum juga boleh meminta sahabat dan anggota keluarga lainnya menyumbang untuk lembaga amal sebagai pengganti karangan bunga. Kebaikan ini dapat dilimpahkan kepada almarhum dan semua makhluk.

           Anggota keluarga tidak diharuskan memakai pakaian khusus berwarna hitam atau pakaian kemalangan yang kasar (boon tar), tetapi boleh memakai pakaian biasa, putih, abu-abu, atau warna sederhana seadanya, untuk mencerminkan suasana duka. Dalam agama Buddha, kita diajari untuk menerima fakta adanya kematian, dan untuk tidak bersedih dan meratap. Sang Buddha berkata bahwa tangis dan air mata tidak akan menghidupkan yang mati melainkan hanya mengakibatkan hidup ini lebih menderita.

            Tentunya hal ini bukan berarti kita harus menyembunyikan atau menyangkal kesedihan kita. Kita, sampai saat ini, masihlah bukan Buddha ataupun Arahat yang tidak merasakan kesedihan lagi. Jadi, apa yang dapat kita lakukan adalah dengan menyadari dan mengetahui perasaan sedih yang timbul pada diri kita. Kita boleh mengeluarkan air mata. Kita boleh berduka. Tetapi dengan kesadaran dan pemikiran bijaksana, kita tidak akan diliputi kesedihan yang berlebihan. Kita dapat bertahan dengan rela dan tenang. Dan kita dapat merenungkan bahwa Sang Buddha mengajarkan kita tentang ketidakkekalan diri atau tidak adanya keakuan. Bahkan pada akhirnya kita pun bukan milik kita. Kita terbentuk oleh ketidaktahuan dan keinginan yang menciptakan kamma (perbuatan) yang menuntun kita pada kelahiran kembali.

            Umat Buddha yang mengerti Dhamma akan mencontoh Ajaran Buddha dan merenungkan Empat Kebenaran Mulia, selanjutnya akan diwujudkan dengan melaksanakan Jalan Mulia Beruas Delapan untuk mengakhiri kelahiran dan penderitaan. Dia akan mewujudkannya dengan melatih kemurahan hati, menjaga lima sila (Panca Sila), dan melatih kesadaran serta meditasi untuk memusnahkan kekotoran batin.

===

           Anggota keluarga juga tidak perlu membelakangi peti mati ketika jenazah almarhum diletakkan ke dalam, atau ketika peti mati akan diangkut dari rumah ke mobil jenazah pada hari pemakaman. Tidak ada akibat apa pun bagi umat Buddha Theravada yang mengamati peristiwa ini, malah akan lebih tidak menghormati dan melukai almarhum seandainya dia dapat mengamati apa yang sedang terjadi (yakni anggota keluarganya membelakangi almarhum). Sebaliknya, anggota keluarga boleh berdiri, mengamati dalam keheningan penuh penghormatan, sewaktu peti mati diangkut keluar dari rumah. Mereka dapat merenungkan ketidakkekalan kondisi manusia bahwa kita semua pasti meninggal suatu hari nanti dan betapa pentingnya bagi kita untuk berbuat baik dan hidup dengan penuh manfaat selagi kita masih hidup. Tentu saja, mereka juga dapat memancarkan pengharapan kepada almarhum, “Semoga almarhum berbahagia dalam kelahirannya yang baru.”

           Praktek lain yang salah menurut Theravada adalah persembahan makanan, seperti ayam, bebek, babi panggang, dan sayuran di depan almarhum, terutama pada saat penghormatan terakhir yang biasanya diadakan secara tradisi Chinese. Persembahan yang demikian tidaklah perlu karena almarhum telah dilahirkan kembali dan tidak dapat memakan makanan tersebut lagi.

           Penggunaan grup musik untuk memainkan musik khidmat selama proses pemakaman bukanlah merupakan keharusan. Akan sama baiknya bila seseorang menginginkan upacara diadakan dalam keheningan.

         Penguburan atau kremasi merupakan pilihan, meskipun kremasi akan lebih praktis, lebih murah, dan lebih disukai. Apa yang tertinggal dari tubuh setelah kematian hanyalah kerangka, sedangkan almarhum telah mengalami kelahiran yang baru. Dan pertanyaan yang muncul sekarang adalah berapa lama jenazah boleh disimpan? Kremasi atau penguburan dapat dilakukan dengan segera, pada keesokan harinya, atau bahkan pada hari yang sama. Akan tetapi, mungkin ada keluarga yang ingin menyimpan jenazah untuk beberapa hari karena berbagai alasan, seperti untuk menunggu kepulangan anggota keluarga yang jauh, atau untuk memberi kesempatan bagi sanak saudara dan sahabat untuk memberikan penghormatan terakhir. Jadi, keputusan untuk segera dikuburkan atau dikremasi, atau disimpan selama beberapa hari, tergantung pada keputusan keluarga atau permintaan almarhum jika dia ada menyatakan keinginannya sebelum meninggal.

            Sebelum dikremasi, apa yang seharusnya dilakukan terhadap abunya? Umat keturunan Chinese mempunyai kebiasaan meletakkan abu di dalam kendi di tempat penyimpanan abu jenazah (columbarium). Umat Buddha Theravada di Myanmar biasanya membiarkan abunya di krematorium untuk dibuang oleh pekerja, walapuna ada beberapa anggota keluarga yang memilih mengumpulkan abunya dan membuangnya di laut atau sungai.
Bagi umat Buddha Theravada di Malaysia, biasanya:
1.   Abu diletakkan di tempat penyimpanan abu jenazah;
2.   Membiarkan abu tersebut dibuang pekerja krematorium; atau
3.   Membuang abu tersebut ke laut atau sungai.
Semuanya merupakan pilihan. Jika seseorang memilih meletakkan abu tersebut di tempat penyimpanan abu jenazah dengan tujuan untuk mengenang, tidaklah perlu mempersembahkan atau menyelenggarakan berbagai upacara atau ritual atas kendi yang berisi abu tersebut. Hal ini karena almarhum telah dilahirkan kembali dan apa yang tertinggal hanyalah abu. Daripada menyelenggarakan upacara yang tidak bermanfaat, lebih baik ber-dana ke vihara dan melimpahkan jasa kebajikan kepada almarhum.

           Membiarkan abu di krematorium atau menaburnya di laut atau sungai juga boleh. Karena, seperti yang telah dikatakan, apa yang tertinggal hanyalah sisa jenazah, hanya unsur tanah, air, angin, dan api. Seseorang itu bukanlah tulang atau abu.

           Kesadarannya telah terpisah dan dilahirkan dalam bentuk baru. Maka itu, abunya boleh dibuang, tanpa adanya sikap tidak hormat. Sang Buddha mengajarkan kebijaksanaan dan ketidakmelekatan. Apa yang seharusnya kita lakukan adalah memperlakukan sesama dengan cinta kasih ketika kita masih hidup, dan setelah orang yang kita kasihi meninggal, kita tetap menjalankan hidup dengan penuh manfaat sehingga almarhum, seandainya dia bisa mengetahuinya, akan bangga kepada kita, bangga dengan kita yang hidup dengan baik sesuai dengan Ajaran Buddha.

===

Jika jenazah disimpan selama beberapa hari sebelum penguburan atau kremasi, kita boleh mengundang bhikkhu (satu atau lebih) untuk memberikan khotbah Dhamma, membaca paritta atau sutta, dan menganugerahi tuntunan Tisarana dan Panca Sila. Para sahabat yang beragama Buddha boleh melayat dan membaca paritta juga. Mereka juga boleh duduk bermeditasi bersama atau mengadakan diskusi Dhamma. Pembacaan sutta tertentu dari kitab suci juga boleh dilakukan. Kita bisa memilih kutipan yang tepat dan bermanfaat dari kitab suci untuk upacara ini. [Syair bahasa Pali untuk dibaca dan direnungkan ada pada Lampiran (i) dan (ii) dari buklet ini]. Anggota keluarga dan sahabat juga boleh mengucapkan beberapa patah kata, mengenang perbuatan baik dan sifat baik dari almarhum. Jadi, seperti yang terlihat, segalanya tergantung pada keluarga almarhum apakah mereka mau mengadakan pertemuan dan pelayanan yang bermanfaat dan bermakna. Kita boleh kreatif dan melakukan hal yang baru dalam melaksanakan pelayanan tersebut untuk menghormati almarhum.

            Pada hari pemakaman atau pengkremasian, bhikkhu boleh diundang untuk membacakan paritta dan menganugerahi tuntunan Panca Sila, setelah itu mereka juga boleh memimpin atau mengikuti mobil jenazah dengan mobil yang lain ke tempat pemakaman atau krematorium. Biasanya, ada kebiasaan mempersembahkan jubah kepada bhikkhu sebagai suatu bentuk kebajikan. Anggota keluarga boleh mempersembahkan jubah kepada bhikkhu, baik di rumah sebelum berangkat ke krematorium ataupun ketika tiba di krematorium. Jubah boleh diletakkan di atas peti mati agar bhikkhu mengambilnya sebagai jubah pamsukula (jubah yang telah dibuang) atau dapat dipersembahkan langsung kepada bhikkhu. Tidak ada aturan yang baku untuk prosedur di atas. Kita boleh menyesuaikan dan mengubahnya sesuai keperluan. Setelah persembahan jubah, bhikkhu akan memimpin anggota keluarga melaksanakan pelimpahan jasa kepada almarhum dan semua makhluk. Pada tempat pemakaman atau krematorium, bhikkhu akan membacakan paritta singkat sebelum peti mati diturunkan ke dalam tanah atau dimasukkan ke dalam tungku pembakaran.

            Biasanya, pembacaan paritta diakhiri dengan syair berikut:
Anicca vata sankhara
Uppadava yadhammino
Uppajjitva nirujjhanti
Tesam vupasamo sukho
Ketidakkekalan adalah hakekat dari segala sesuatu yang berkondisi.
Secara alami timbul dan lenyap.
Setelah timbul, akan hancur dan lenyap.
Penaklukan dan penghentian keadaan tersebut adalah kebahagiaan sejati.

[Jika tidak ada bhikkhu, anggota keluarga, sanak saudara, atau sahabat dekat boleh membacakan syair ini di krematorium. Sutta lain yang berhubungan, seperti Paticca Samuppada (lihat hlm. 55) atau Salla Sutta (Anak Panah; lihat hlm. 67) juga boleh dibacakan]

            Penaklukan dan penghentian di sini menunjukkan pencapaian kearahatan, tingkat kesucian tertinggi dalam agama Buddha. Seorang arahat, yang telah terbebas dari kemelekatan, tidak akan dilahirkan kembali. Jika ada kelahiran maka akan ada kematian. Jika tidak ada kelahiran, tidak akan ada kematian. Penghentian kelahiran berarti penghentian penderitaan. Inilah kebahagiaan sejati.

===

PELIMPAHAN JASA

Pelimpahan jasa merupakan tradisi Buddhis. Setelah melakukan perbuatan baik, seperti mempersembahkan jubah dan makanan kepada bhikkhu, melaksanakan sila, berdana, dan sebagainya, umat Buddha melimpahkan jasa-jasa tersebut kepada almarhum dan semua makhluk, mengharapkan semua makhluk mencapai pencerahan, sehingga mereka terbebas dari samsara, sehingga mereka bisa mencapai Nibbana, akhir dari kelahiran kembali dan penderitaan. Pelimpahan jasa merupakan kebiasaan yang baik karena akan membangkitkan hati yang mulia dan tidak egois, dengan berharap jasa kebajikan kita akan – jika mungkin – memberikan kontribusi bagi pencerahan semua makhluk.

            Apakah jasa kebajikan yang kita perbuat benar-benar dapat dibagi atau dipindahkan kepada orang lain? Apakah seseorang yang telah meninggal dapat menerima jasa kebajikan kita? Berdasarkan Tirokudda Sutta, khotbah yang diberikan Sang Buddha, kebajikan bisa dibagi kepada hantu kelaparan. Jika seseorang dilahirkan di alam setan (hantu) kelaparan, dia mungkin masih berada di sekitar kita. Dengan demikian, bila dia masih di sekitar kita dan dia berbahagia atas perbuatan baik yang telah dilakukan atas namanya, maka pikirannya yang bahagia inilah yang menjadi perbuatan berpahala baginya. Dan bagi hantu kelaparan yang tidak memiliki cara lain untuk berbuat baik, pikiran yang bahagia ini merupakan pahala yang sangat berarti yang dapat mengurangi penderitaanya di alam setan, dan mudah-mudahan dapat mempercepat kelahirannya kembali ke alam yang lebih bahagia. Jadi, dari sini kita bisa melihat bahwa suatu individu perlu mengetahui pelimpahan jasa yang telah dilakukan untuk dirinya agar ia dapat merasa bahagia dan “berbagi” jasa kebajikan yang telah diperbuat. Dengan demikian, jika seseorang terlahir menjadi binatang atau manusia, ia akan berada di dalam rahim induknya dan tidak mampu mengetahui jasa kebajikan yang dilakukan oleh anggota keluarga dari kehidupan lampaunya. Begitu pula jika seseorang terlahir di neraka, karena makhluk di alam neraka, menurut agama Buddha tradisi Theravada, tidak dapat menyadari apa yang sedang terjadi di alam manusia. Para dewa di alam surga juga pada umumnya tidak akan menyadarinya. Mungkin para dewa terlalu asyik dengan kesenangan di alam mereka sehaingga tidak memperhatikan apa yang kita perbuat di sini. Selain itu, ada perbedaan dalam hal jangkauan waktu. Menurut kitab suci, satu hari di salah satu alam dewa sama dengan 50 puluh tahun di alam manusia.

            Oleh karena itu, kita menganggap bahwa umumnya hanya hantu kelaparan yang akan menyadari kebajikan yang dilakukan atas nama mereka. Selain hantu, kita bisa mengatakan bahwa mungkin ada dewa rendah atau makhluk halus tertentu yang juga mengetahuinya karena dikatakan bahwa makhluk seperti mereka tinggal di batu-batu besar dan pepohonan.

            Tentu saja, kita tidak menginginkan orang yang kita kasihi terlahir di alam setan kelaparan hanya demi menerima jasa kebajikan kita! Kita tidak ingin mereka memerlukan pelimpahan jasa semacam ini. Sebaliknya, kita menginginkan mereka terlahir di alam bahagia seperti menjadi manusia atau dewa, makhluk surga. Tetapi seandainya kelahiran kembali sebagai hantu kelaparan yang menyedihkan itu terjadi pada orang yang kita kasihi, maka pelimpahan jasa akan bermanfaat bagi mereka jika mereka hadir atau mengetahui pelimpahan jasa yang kita lakukan atau pun pikirkan. Selain kepada almarhum, kita juga bisa melimpahkan jasa kebajikan kepada semua keluarga kita yang telah meninggal pada kehidupan ini dan kehidupan lampau. Jadi, selain almarhum yang baru meninggal, sanak saudara yang lain yang telah meninggal dan barangkali terlahir menjadi hantu kelaparan juga mendapatkan kebahagiaan dan manfaat.

            Dari pembahasan di atas,  kita dapat mengetahui betapa pentingnya kita hidup dengan baik melatih kemurahan hati, menjaga sila, dan bermeditasi; karena kelahiran kita yang akan datang tergantung pada perbuatan kita di kehidupan sekarang.

            Pada akhirnya, kebajikan yang kita lakukan tetap milik kita. “Melimpahkan” kepada almarhum dan semua makhluk tidak berarti kebajikan kita menjadi separuh atau berkurang. Kita tetap mendapatkan hak kita. Sebaliknya, perbuatan pelimpahan ini merupakan perbuatan bermanfaat. Jadi, pelimpahan jasa kebajikan untuk pencerahan semua makhluk merupakan tradisi yang baik yang membangkitkan kemuliaan dan ketidakegoisan dalam diri kita.

            Bhikkhu Theravada tidak meminta bayaran untuk pelayanan mereka. Ini hanya merupakan bagian dari pelayanan mereka kepada masyarakat, atau sebagai bentuk dukungan moral kepada keluarga almarhum. Jadi bhikkhu tidak mengharapkan bayaran sama sekali. Akan tetapi, biasanya etnis Chinese memberikan amplop merah (angpao) sebagai ungkapan terima kasih. Untuk persembahan seperti ini, seorang bhikkhu boleh menerima dana tersebut dan menggunakannya dalam batas-batas yang diperkenankan, seperti untuk memenuhi kebutuhannya, atau untuk kepentingan Dhamma, misalnya mencetak buku-buku Dhamma untuk dibagikan secara gratis.

            Etnis Chinese mempunyai kebiasaan untuk mengadakan ritual tertentu dan berdoa pada hari ke-7, hari ke-49, dan hari ke-100 setelah kematian serta pada hari peringatan kematian almarhum setiap tahunnya. Umat Buddha Theravada sebetulnya tidak perlu mengikuti ritual yang tidak sesuai dengan Dhamma. Sebaliknya, apa yang bisa dilakukan oleh keluarga adalah, jika mereka menghendaki, mempersembahkan makanan dan kebutuhan lain kepada bhikkhu di vihara sehingga kebajikan ini dapat dilimpahkan kepada almarhum. Atau mereka dapat melakukan perbuatan baik dan mulia lainnya, seperti memberi makan kepada orang yang kelaparan, mencetak buku Dhamma untuk dibagikan secara gratis, dan lain-lain, untuk mengenang almarhum.

            Masih ada lagi kebiasaan lain yang seharusnya tidak dilakukan oleh umat Buddha Theravada, yaitu mengadakan upacara untuk mencoba berhubungan dengan orang yang telah mati (bahasa Hokkien: khan-bong) melalui perantara untuk memanggil “arwah” almarhum. Praktek semacam ini bertentangan dengan agama Buddha tradisi Theravada. Tidak seorang pun dapat memastikan di mana seseorang terlahir kembali, dan lagi pula, selain alam setan (hantu) dan dewa yang tinggal di bumi, komunikasi dengan makhluk yang terlahir di alam yang lain pada dasarnya tidaklah mungkin.

===

            Kesimpulannya, upacara pemakaman Buddhis Theravada dapat dilaksanakan secara sederhana, dengan menghilangkan pengeluaran yang tidak perlu, serta upacara dan ritual yang tidak bermanfaat. Semuanya tergantung pada keluarga yang bersangkutan untuk mengadakan upacara pemakaman yang bermanfaat, daripada membiarkan ahli pengurus pemakaman yang memerintah mereka. Ingatlah bahwa kita boleh kreatif dan melakukan hal yang baru dengan penekanan pada makna dan pemahaman.

            Dan sumbangan dapat diberikan kepada vihara dan lembaga amal untuk mengenang dan menghormati almarhum. Dan kebajikan ini dapat dilimpahkan kepada almarhum dan semua makhluk.

            Semoga semua makhluk mendapat pencerahan dan mencapai Nibbana, akhir dari kelahiran kembali dan penderitaan.

===

Berjuang Sekarang Juga!


Sekarang ini engkau bagaikan daun mengering layu.
Para utusan raja kematian telah menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan.
Namun tidak kau miliki bekal untuk perjalanan nanti.


Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berjuanglah sekarang juga dan jadikan dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda dan bebas dari nafsu keinginan,
maka kelahiran dan kematian tidak akan datang lagi padamu.

Sang Buddha, Dhammapada 235 & 238